
Berbeda dengan Kite Runner, Tokoh yang diceritakan dalam buku ini adalah perempuan. Yaitu kisah dua orang perempuan, Mariam dan Laila yang dipertemukan dalam satu buah persahabatan yang tidak biasa, gw hampir yakin nggak bakalan ada seoorang cewe pun, apalagi di indonesia, apalagi pula di jakarta yang mau mengalaminya. Tapi gw nggak tau, apakah karena buku ini tentang cewe jadinya gw kurang terbawa emosinya ketika membaca buku ini.
Masih bersetting di afganistan Novel ini membawa kita ke sebuah penderitaan Mariam yang nggak berujung, seolah Mariam dilahirkan untuk bersahabat dengan kepedihan itu sendiri. Dari mulai dia ABG ketika dia oleh ibunya sendiri disebut sebahai harrami-anak haram- sampai usia 40 an bahkan sampai meninggal seolah dia masih harus berdampingan dengan penderitaan. Saking seringnya penderitaan terus-menerus diumbar dalam cerita ini sampai kadang-kadang gw ngerasa datar aja ketika tokoh utama ini dianiaya.
Walaupun pada awalnya kehadirannya sempat tidak diterima namun akhirnya munculnya Laila sedikit memberikan kebahagiaan untuk Mariam dan berhasil menghadirkan sedikit senyuman untuk Mariam. Laila sendiri memiliki kisah yang tidak lebih menyenangkan daripada Mariam namun setidaknya diakhir cerita Laila berhasil menemukan kebahagiaan. Dan membuat kita merasa lega karena penderitaan Mariam tidak begitu sia-sia.
Dan Seperti the Kite Runner novel ini dengan detil berhasil memotret kehidupan afghanistan dan segala carut marutnya. Bagaimana Afganistan setelah dikuasai taliban membuat peraturan keras yang kebanyakan tidak menguntungkan bagi pihak perempuan. Diceritakan para wanita tidak boleh bersekolah, tidak boleh bekerja bahkan secara tegas dilarang keluar rumah tanpa ada kepentingan yang jelas dan harus ada laki-laki muhrimnya yang menemani.
Peraturan yang keras ini termasuk dilarangnya warga memiliki pesawat televisi sehingga warga harus main petak umpet dengan petugas patroli. Ketika siang pesawat televisi dikubur dihalaman belakang untuk menghindari pemeriksaan patroli dan malam hari secara diam-diam mereka mengeluarkan televisi, menutup semua jendela, mematikan semua lampu dan nonton televisi tanpa suara. Kesian amat.
Denger-denger ada propaganda Amerika di buku ini, tapi gak tau juga ding...
No comments:
Post a Comment